JAKARTA - Dunia digital yang semakin maju dan tanpa batas seringkali menimbulkan dampak signifikan baik positif maupun negatif dalam kehidupan masyarakat. Salah satu dampak negatif tersebut kembali terlihat di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, saat sebuah masalah sederhana yang berawal dari percakapan di grup WhatsApp berakhir dengan laporan polisi. Musthofa, seorang warga Asembakor berusia 51 tahun, menjadi pelapor dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang terjadi di Grup WhatsApp Rakyat Probolinggo.
Kejadian ini dimulai ketika Musthofa, yang akrab disapa Yek Mus, mengunggah sebuah video di grup WhatsApp Rakyat Probolinggo pada 21 Februari 2025. Video tersebut menyoroti dugaan adanya praktek pungutan liar (pungli) di Stadion Gelora Kraksaan. "Pada pukul 20.00 saya memposting video, lalu pukul 20.02 saya mengomentari 'PUNGLI...' di video tersebut," terang Yek Mus dalam laporannya. Ia menyatakan bahwa informasi mengenai pungli itu diperoleh dari para pedagang kaki lima di sekitar stadion, yang mengaku sering dimintai "sumbangan" oleh pihak yang mengaku sebagai pengurus PKL Stadion Gelora Kraksaan.
Unggahan Yek Mus segera mendapat reaksi dari salah satu anggota grup, yang dikenal dengan inisial YL. YL, dalam komentarnya, menolak klaim Yek Mus dengan mengatakan bahwa pungutan tersebut hanyalah sumbangan sukarela untuk para pengamen. "Kalau pengamen di stadion dianggap pungli, maka pengamen di bus dan rumah-rumah juga pungli dong. Saya siap bela pengamen di stadion," tulis YL membela.
Ketegangan semakin meningkat ketika YL kembali menulis komentar yang lebih pedas dan dianggap menghina Yek Mus. "Itulah yang picik kau ini, kemana saja kalau pengamen bisa minta sumbangannya ke siapa saja termasuk ke kau bila ada sedikit rezeki. Kalau hatinya iri pasti selamanya iri," tambah YL dalam percakapan tersebut.
Yek Mus merespons penggunaan kata-kata seperti "picik", "iri", dan istilah lain yang merendahkan sebagai penghinaan yang mengancam reputasinya. Grup WhatsApp Rakyat Probolinggo, yang diperkirakan memiliki lebih dari 640 anggota dan terdiri dari tokoh-tokoh penting, termasuk Kapolres Probolinggo AKBP Wisnu dan Bupati Probolinggo dr. Haris, menjadi saksi dari pertikaian ini. Menurut Yek Mus, hal itu membuatnya merasa nama baiknya tercemar dan mengalami kerugian immateriil yang ditaksir mencapai Rp 1 miliar.
"Oleh karena itu, saya merasa harus membawa masalah ini kepada pihak berwajib agar mendapatkan keadilan dan kepastian hukum," sebut Yek Mus dalam penjelasannya kepada media. Dia menuntut YL berdasarkan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mempermasalahkan dugaan penyebaran informasi berisi penghinaan melalui media elektronik.
Pihak kepolisian Probolinggo saat ini sedang memproses laporan tersebut. Dalam sistem hukum Indonesia, bagaimana teknologi komunikasi digunakan dan dampaknya terhadap reputasi individu memang mendapatkan perhatian serius. Serupa dengan banyak kasus yang diajukan di bawah UU ITE, proses hukum ini akan mencoba menilai apakah komentar dan kata-kata yang digunakan memang memenuhi unsur pidana yang dituduhkan.
Kasus semacam ini kembali mengundang perhatian masyarakat tentang betapa kuatnya dampak dari interaksi di media sosial. Fenomena banjir informasi yang sering tidak terverifikasi berpotensi menimbulkan salah paham dan konflik di tengah masyarakat. Selain itu, kedewasaan pengguna dalam berkomunikasi secara digital juga semakin dipertaruhkan. Ketika ditanya tentang harapan penanganan kasus ini, Yek Mus menjelaskan, "Saya hanya ingin nama baik saya kembali pulih dan ada pelajaran yang bisa diambil agar kejadian serupa tidak berulang."
Sebagai platform media sosial yang bebas namun juga penuh risiko, grup-grup media sosial seringkali menjadi tempat berkumpulnya berbagai macam opini dan informasi. Walaupun fungsinya sangat efektif dalam menyebarkan informasi dan diskusi, grup WhatsApp seperti Rakyat Probolinggo harus lebih memperhatikan etika digital dan menjaga agar diskusi tetap sopan serta konstruktif.
Di sisi yang lain, pihak berwenang juga diharapkan dapat menegakkan hukum dengan seadil-adilnya, memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai batasan kebebasan berpendapat di dunia maya. Kepolisian, sebagai instansi yang menangani kasus-kasus ITE, perlu bertindak tegas namun tetap berimbang agar memberi efek jera sekaligus mendidik masyarakat.
Meskipun penanganan kasus ini masih berlangsung, publik tentu mengharapkan hasil yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Sementara itu, pengguna media sosial lainnya diingatkan untuk tetap berhati-hati dalam berperilaku di dunia maya, karena setiap kata dan kalimat bisa jadi berujung pada persoalan serius di mata hukum.